Nyala yang Meredup
Judul: Nyala yang Meredup
Subjudul: Sebuah Refleksi Puitis tentang Semangat yang Pudar
Daftar Isi
1. Kata Pengantar
2. Bagian I – Ketika Api Itu Mulai Mengecil
3. Bagian II – Retak dalam Dada
4. Bagian III – Langkah yang Tak Lagi Tegap
5. Bagian IV – Di Antara Gelap dan Terang
6. Bagian V – Nyala yang Belum Padam
7. Penutup
---
Kata Pengantar
Untukmu yang sedang letih,
yang merasa nyalanya tak lagi menyala seperti dulu.
Buku ini kutulis untuk menemanimu,
bukan untuk menyembuhkan,
tapi untuk membuatmu merasa:
kamu tidak sendiri.
Semua orang pernah redup.
Dan dalam redup itu,
kadang kita belajar paling banyak tentang cahaya.
---
Bagian I – Cahaya yang Dulu Menyala
> Dulu, aku adalah api kecil
yang menari dalam dada,
membakar malam dengan mimpi
dan menantang fajar dengan nyali.
Setiap detak adalah nyanyian
dari semesta yang percaya padaku.
Tapi kini, dengarkan sunyi ini—
hanya desir angin yang ragu.
Katakan, di mana tempat
kutinggalkan bara itu?
Adakah ia padam
karena terlalu sering kuyakin
bahwa aku masih kuat?
> Aku pernah berlari tanpa alas,
demi mimpi yang kutulis sendiri.
Kini aku bahkan lupa
seperti apa rasanya percaya.
Lelah ini bukan dari tubuh,
tapi dari harapan yang tak pulih.
Kau tahu rasanya?
Ketika dunia tak menghalangi,
tapi hatimu sendiri yang menyerah?
---
> Aku ingat saat pertama kali bermimpi,
tidak ada batas, tidak ada ragu.
Hanya langit, dan aku,
dengan dada yang penuh langit juga.
> Hari-hari kala itu seperti nyala lilin
dalam gelap kamar yang sunyi,
kecil, namun cukup untuk percaya
bahwa gelap tidak akan menang.
Aku duduk dalam kenangan
seperti duduk di tepi ranjang masa kecil,
menatap langit-langit
dan bertanya pada Tuhan
kenapa semangat bisa hilang
padahal aku belum selesai mencintai hidup?
Dulu, aku bangun dengan semangat
yang meluap seperti hujan bulan Juni.
Bahkan ketika tidak ada yang memelukku,
aku tahu dunia masih baik.
Masih ada ruang untuk jatuh dan bangkit.
Masih ada alasan untuk bertahan.
Kini, aku membuka mata
dan tak lagi tahu untuk siapa aku hidup.
Tidak ada pagi yang kunantikan,
karena semua terasa sama:
kosong, hambar, tak berwarna.
> Ada yang hilang dariku
dan aku tak tahu bagaimana mencarinya.
Mungkin tertinggal di jalan
yang tak lagi kutempuh.
Atau tenggelam
dalam air mata yang tak pernah benar-benar jatuh.
Aku mencoba mengingat
kapan terakhir aku benar-benar tertawa.
Tertawa tanpa kepalsuan.
Tertawa karena bahagia, bukan karena sopan.
Kapan terakhir aku menangis,
karena memang tak kuat lagi?
Semangat itu dulu ada di setiap langkah.
Setiap tujuan kecil jadi alasan untuk terus berjalan.
Tapi kini… langkah pun tak lagi punya arah.
Aku berjalan hanya karena hidup menuntut.
Bukan karena aku ingin sampai.
> Dunia tidak berubah.
Aku yang berubah.
Atau mungkin… aku yang lelah.
Lelah menjadi kuat.
Lelah menjadi harapan.
Lelah menjadi yang selalu bisa.
Mereka bilang, “kamu hebat, kamu tangguh.”
Tapi tak ada yang tahu
berapa malam kuhabiskan untuk
meyakinkan diri sendiri bahwa aku masih bisa.
Bahwa aku belum menyerah.
Dan malam-malam itu panjang,
sunyi, menusuk,
seperti jarum halus yang pelan-pelan
menusuk hati tanpa luka yang terlihat.
> Pernahkah kau merasa
hidup adalah panggung,
dan kau diminta tersenyum
bahkan saat jiwamu retak di balik layar?
Semangat itu dulu seperti nyanyian ibu
saat aku masih kecil.
Hangat, tenang, dan penuh keyakinan.
Kini, tak ada lagi nyanyian.
Hanya gema kosong dari masa lalu
yang berbisik lirih:
kamu pernah percaya…
kamu pernah kuat…
Dan aku ingin bertanya pada diriku yang dulu:
Bagaimana caramu bertahan?
Bagaimana caramu tersenyum
saat semua terasa terlalu berat?
Tapi aku tahu…
Jawabannya tidak ada di masa lalu.
Jawabannya harus kutemukan
dalam diriku yang sekarang.
---
> Karena meskipun nyala itu meredup,
belum tentu ia padam.
Mungkin… hanya butuh hembusan lembut
untuk hidup kembali.
---
> Aku pernah percaya bahwa luka bisa jadi pelajaran.
Tapi bagaimana jika lukanya tak kunjung sembuh?
Bagaimana jika pelajaran itu
justru membuatmu takut mencoba lagi?
Aku berusaha meraba kembali
bayangan tentang diriku yang dulu,
yang berani bermimpi besar
meski dunia belum tentu memberi ruang.
Kini aku hanya melihat sosok
dengan mata redup dan napas berat,
yang bangun pagi bukan karena semangat,
tapi karena waktu memaksa.
> Dulu, aku percaya pada proses.
Kini, aku bahkan tak tahu
apakah proses itu membawa ke arah yang benar.
Atau justru menyeretku
lebih dalam ke jurang yang tak terlihat.
Pernah ada satu pagi,
aku duduk di teras rumah,
menatap matahari yang pelan-pelan naik,
dan rasanya…
tak ada apa pun yang ingin kukejar hari itu.
Tak ada apa pun yang ingin kucapai.
Aku diam cukup lama,
hingga kutahu:
diamku bukan karena tenang,
tapi karena kehilangan alasan untuk bergerak.
> Mereka bilang,
semangat bisa tumbuh dari hal-hal kecil.
Tapi bagaimana jika semua yang kecil itu
tak lagi mampu menyentuh hatimu?
Aku mencoba menulis,
seperti dulu saat aku penuh ide dan harapan.
Tapi kalimat-kalimat itu hambar,
tak ada jiwa, tak ada nyala.
Kertas tetap kosong,
bukan karena tak ada kata,
tapi karena tak ada api di dalam dada
untuk menghidupkan kata-kata.
> Aku ingin menangis,
tapi bahkan air mataku pun
seolah tak lagi mau mengalir.
Seperti tubuh ini sudah terlalu lama menahan,
dan kini tak tahu cara melepaskan.
Aku bertanya pada cermin,
siapa yang kau lihat?
Bukan lagi pemuda yang percaya dunia bisa ditaklukkan,
tapi seseorang yang hanya ingin hari ini cepat selesai.
Bukan karena banyak yang harus dilakukan,
tapi karena hidup terasa terlalu panjang
untuk dijalani tanpa tujuan.
> Pernah aku berjalan di tengah keramaian,
tapi tetap merasa sendirian.
Seperti dunia bergerak cepat
dan aku tertinggal jauh di belakang.
Aku iri pada orang-orang yang tertawa lepas.
Bukan karena aku ingin hidup mereka,
tapi karena aku ingin kembali
merasakan ringan di dada.
> “Kamu baik-baik saja?”
Sebuah pertanyaan sederhana,
tapi jawabannya tak pernah sesederhana itu.
Kadangadang aku ingin menjawab, “Tidak, aku tidak baik-baik saja.” Tapi siapa yang mau mendengar luka yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata?
> Aku tidak ingin dikasihani,
hanya ingin dipahami.
Tapi dunia terlalu sibuk
untuk memahami yang tidak terlihat.
Dan di sinilah aku,
duduk di antara tumpukan harapan
yang mulai lapuk dimakan waktu.
Bersama semangat yang dulu menyala,
kini tinggal bara kecil yang nyaris padam.
Tapi…
di tengah kehampaan ini,
masih ada satu hal yang kurasa belum hilang sepenuhnya:
> Keinginan untuk percaya lagi.
Meski kecil, meski rapuh,
ia masih ada.
Dan mungkin, itu cukup.
Untuk memulai lagi.
Untuk tidak menyerah hari ini.
Untuk memberi kesempatan
bagi semangat yang meredup…
untuk menyala kembali.
---
Bagian II – Retak dalam Dada
> Tidak semua luka terlihat.
Beberapa hanya terdengar dalam keheningan,
saat hati berbicara sendiri,
pelan… takut ada yang mendengar.
Pernahkah kau merasa hancur
tanpa tahu bagian mana yang lebih dulu retak?
Aku pernah.
Dan masih.
> Dada ini…
bukan sekadar tempat berdenyutnya jantung,
tapi ruang penuh cerita
yang tak sempat selesai ditulis.
Setiap hari aku berpura-pura kuat,
menjadi topeng dari versi diriku
yang tak ingin dilihat orang lain.
Versi yang lelah,
yang rapuh,
yang menangis dalam diam.
> Ada retakan kecil yang dulu kuabaikan.
Kujawab dengan: "Aku baik-baik saja."
Padahal aku sedang tenggelam
di dalam diriku sendiri.
Retakan itu membesar.
Menganga seperti luka terbuka
yang disentuh oleh waktu,
oleh kecewa,
oleh harapan yang tak jadi nyata.
Aku terlalu lama percaya
bahwa aku harus selalu bisa.
Bahwa air mata adalah kelemahan.
Bahwa mengeluh hanya akan membuatku lebih lemah.
Tapi ternyata…
yang membuatku rapuh
bukan karena aku menangis,
melainkan karena terlalu lama memendam.
> Ada rasa yang tak bisa dijelaskan:
seperti terjatuh dari ketinggian,
tapi tidak sampai menyentuh tanah.
Menggantung dalam kepedihan
yang tak ada akhirnya.
Aku menyimpan semuanya sendiri.
Karena tidak semua orang bisa mendengar
jerit yang tak bersuara.
Karena tidak semua yang dekat
mampu menjadi tempat pulang.
> Pernah kubuka luka itu,
tapi yang kuterima hanya nasihat,
bukan pelukan.
Kata-kata, bukan kehadiran.
Kadang aku tidak butuh solusi.
Aku hanya butuh ditemani.
Duduk di sampingku,
tanpa bicara, tanpa menghakimi.
Karena luka ini tidak minta disembuhkan,
ia hanya ingin dipahami.
> "Mengapa kamu berubah?"
Mereka bertanya.
Tapi tidak ada yang bertanya,
"Apa yang telah kamu lalui?"
Dulu aku bercerita dengan mudah,
tapi sekarang bahkan kata pun terasa asing.
Karena terlalu sering kecewa
pada orang yang datang hanya saat senang.
> Dan ketika aku benar-benar butuh…
aku sendirian.
Aku belajar menyembuhkan diri sendiri,
dengan pelan, dengan hati-hati.
Meski tangan ini gemetar
dan mata sembab oleh malam yang panjang.
Aku belajar bahwa tidak apa-apa
untuk hancur dulu,
asal jangan hilang sepenuhnya.
> Karena retak tidak selalu berarti rusak.
Kadang ia hanya pengingat,
bahwa aku juga manusia.
Dan di antara kepingan hatiku yang pecah,
masih ada satu sudut kecil
yang tetap utuh.
Sudut di mana harapan kecil bersandar,
menunggu waktu yang tepat
untuk kembali percaya.
> Dada ini masih sesak,
tapi sekarang aku tahu:
bukan karena kelemahan,
melainkan karena terlalu lama menahan kuat.
Aku menatap langit malam,
bukan untuk mencari bintang,
tapi untuk merasa kecil,
agar aku tahu
bahwa semua ini bukan akhir.
Retak ini bukan kehancuran.
Retak ini adalah ruang
di mana cahaya baru bisa masuk.
---
Bagian III – Langkah yang Tak Lagi Tegap
> Dahulu, setiap langkahku punya arah.
Kini, aku hanya berjalan
agar terlihat masih hidup.
Padahal hatiku duduk
di satu sudut yang tak lagi percaya.
Aku masih berjalan,
meski tak tahu ke mana.
Bukan karena yakin,
tapi karena diam membuatku
terlalu akrab dengan kehampaan.
> Kakiku tetap melangkah,
meski jiwaku tertinggal jauh di belakang.
Langkah ini seperti ritual yang tak lagi suci,
hanya gerakan tubuh
tanpa rasa.
Dulu, jalan-jalan kecil memberi harapan:
menuju sekolah, kantor, mimpi.
Kini…
semua jalan terasa datar.
Tak ada tanjakan harapan
atau turunan rasa syukur.
Aku berjalan bukan karena semangat,
tapi karena takut mati rasa.
> Ketegapan itu dulu dibangun
dari harapan, kepercayaan, dan cinta.
Tapi semua itu kini
hanya serpih di dasar hati
yang tak sempat kuambil kembali.
Kucoba ingat kapan terakhir aku bangkit
dari jatuh, bukan karena terpaksa,
tapi karena aku ingin melanjutkan hidup.
Tapi memori itu kabur…
seperti diliputi kabut tak berujung.
> Setiap langkah seperti dialog
antara aku yang dulu dan aku yang kini.
Dulu: "Ayo kita coba lagi."
Kini: "Untuk apa?"
Aku tahu hidup tidak mudah.
Tapi aku juga tahu,
bahwa bukan hidup yang membuatku rapuh,
melainkan kehilangan keyakinan pada diri sendiri.
> Mereka melihatku masih berdiri.
Tapi tidak tahu
betapa kakiku gemetar menahan dunia.
Pernah, aku menatap cermin
dan bertanya:
“Apakah ini aku yang dulu berani?”
Jawaban tak pernah datang,
karena yang kutatap
adalah seseorang yang tak kukenal.
> Dulu aku percaya bahwa jatuh itu wajar,
dan bangkit adalah bagian dari hidup.
Tapi bagaimana jika kau terlalu sering jatuh,
hingga bangkit pun terasa sia-sia?
Langkahku kini bukan tentang bergerak,
tapi tentang bertahan.
Bertahan dari malam-malam dingin,
dari siang yang hampa,
dari diri sendiri yang ingin menyerah.
> Aku menapaki hari-hari
seperti berjalan di pasir panjang:
setiap jejak tertinggal,
tapi tak pernah cukup dalam
untuk menjadi kenangan.
Orang-orang mengira aku kuat.
Padahal aku hanya tak tahu
bagaimana caranya menyerah
tanpa benar-benar hilang.
> Setiap kali aku mencoba melambat,
hidup mendorongku lebih keras.
Dan aku…
hanya bisa pasrah.
Tegapku kini bukan karena percaya diri,
melainkan karena kebiasaan.
Kebiasaan untuk tetap jalan
meski jiwa ingin berhenti.
> Tapi jauh di dasar hati,
masih ada bisikan pelan:
"Kamu sudah sejauh ini,
meski tanpa semangat,
kamu masih di sini."
Dan barangkali, itu cukup.
Bukan sebagai kemenangan,
tapi sebagai bukti
bahwa aku belum kalah.
> Mungkin langkahku tak lagi tegap,
tapi setiap pijak adalah perlawanan.
Dan diam-diam,
aku mulai percaya bahwa
melanjutkan hidup meski lelah,
adalah bentuk keberanian paling sunyi.
---
Bagian IV – Di Antara Gelap dan Terang
> Ada masa ketika aku tidak ingin pagi datang,
karena malam memberiku alasan
untuk diam tanpa ditanya.
Tapi juga takut gelap,
karena terlalu banyak suara dalam kepalaku.
Aku hidup dalam bayang-bayang
antara gelap yang menenangkan
dan terang yang menghakimi.
Di malam, aku bisa menangis
tanpa ada yang tahu.
Di siang, aku harus tersenyum
agar dunia merasa nyaman.
> Di antara gelap dan terang,
aku menjadi asing bagi diri sendiri.
Tidak benar-benar hidup,
tapi juga belum mati rasa.
Malam adalah peluk paling jujur.
Ia tak bertanya kenapa aku murung.
Ia hanya ada.
Dan kehadirannya tak menuntut kebahagiaan.
Sedang siang…
menyilaukan.
Menyodorkan kenyataan
yang belum siap kuterima:
bahwa dunia terus berjalan,
bahkan saat hatiku ingin berhenti.
> Di batas senja,
aku berdiri sendirian,
menatap langit yang ragu:
hendak menjadi malam
atau tetap bertahan sebagai siang.
Aku menyukai senja,
bukan karena keindahannya,
tapi karena ia mengerti rasa ragu.
Ragu untuk lanjut,
ragu untuk mundur.
Seperti diriku.
> "Kapan terakhir kali kamu benar-benar merasa damai?"
Pertanyaan itu seperti cahaya kecil
yang menyusup di antara retakan gelapku.
Aku tidak bisa menjawab pasti.
Yang kuingat hanya serpihan momen:
tawa kecil di sore mendung,
pelukan diam di tengah gaduh,
secangkir kopi hangat tanpa percakapan.
> Ternyata, damai bukan tentang bebas dari luka.
Tapi tentang hadir sepenuhnya,
walau hati masih mengeringkan air mata.
Aku belajar pelan-pelan
untuk tidak terlalu benci pada terang.
Karena kadang, cahaya tak datang dari luar,
tapi dari dalam—meski kecil, meski redup.
Dan gelap,
tak selalu musuh.
Ia adalah ruang di mana aku belajar
mendengar bisikan jiwaku sendiri.
> Di antara gelap dan terang,
aku menemukan ruang untuk menjadi utuh:
Tak harus kuat, tak harus bahagia,
cukup jujur pada diri sendiri.
Aku mulai menerima,
bahwa luka tidak harus hilang
untuk bisa merasa hidup.
Bahwa aku tidak harus menunggu pulih
untuk melanjutkan perjalanan.
> Mungkin aku tak akan pernah kembali
menjadi seperti dulu.
Tapi mungkin…
itu bukan hal yang buruk.
Karena di antara gelap dan terang,
aku menemukan versi diriku yang baru:
lebih pelan,
lebih hening,
tapi juga lebih tulus.
> Cahaya tidak harus besar.
Cukup satu titik kecil,
untuk menunjukkan jalan pulang
pada hati yang lelah.
---
Bagian V – Nyala yang Belum Padam
> Aku pernah mengira semangatku telah mati,
padahal ia hanya bersembunyi.
Di antara hening, tangis, dan rasa lelah
yang tak bisa kuterjemahkan.
Hari-hari terus berganti,
dan meski aku masih belum sepenuhnya pulih,
aku tahu satu hal:
aku masih di sini.
> Masih bernapas.
Masih bangun tiap pagi.
Masih menatap dunia,
meski dengan mata yang basah.
Semangat bukan tentang teriakan lantang,
bukan juga tentang tawa yang keras.
Kadang, semangat hadir
dalam bentuk detak jantung yang bertahan
meski ingin berhenti.
Aku mulai percaya,
bahwa tidak apa-apa berjalan pelan.
Tidak apa-apa jatuh dan butuh waktu lama
untuk bangkit.
> Karena hidup bukan perlombaan,
tapi perjalanan pulang
ke dalam diri sendiri.
Di dalam reruntuhan hatiku,
kupungut satu-satu serpih harapan
yang dulu kubiarkan hilang.
Aku kumpulkan,
meski gemetar,
dan perlahan kususun ulang
diri yang sempat hilang arah.
> Aku tak lagi mencari semangat yang dulu,
karena yang dulu adalah aku yang lama.
Kini aku butuh nyala baru,
dari luka yang telah mengajarkanku
arti bertahan.
Dan aku mulai menemukannya.
Dalam senyuman kecil saat matahari terbit.
Dalam kesunyian yang tak lagi menakutkan.
Dalam langkah ringan meski tertatih.
> Ternyata, nyala itu tak pernah benar-benar padam.
Ia hanya meredup,
menungguku belajar menghargai cahaya
yang lahir dari kegelapan.
Kini aku tahu:
Aku tidak lemah.
Aku hanya manusia yang pernah lelah.
Aku tidak gagal.
Aku hanya belajar
bahwa bangkit tidak harus dengan gegap gempita.
Kadang cukup dengan bisikan lirih:
“Aku mencoba lagi hari ini.”
> Dan itu sudah cukup.
Karena tidak semua nyala harus membakar dunia.
Kadang, cukup menyala di dalam dada
agar kita tidak tenggelam sepenuhnya.
Hari ini, aku tidak berkata:
“Aku telah sembuh.”
Tapi aku berkata:
“Aku lebih kuat dari kemarin.”
> Aku masih merasakan gelap,
tapi aku juga tahu
bagaimana caranya menyalakan cahaya kecil
dari dalam diriku sendiri.
Dan untuk kamu,
yang pernah merasa seperti aku:
jangan buru-buru padam.
Karena kadang,
yang paling kecil dan paling redup pun
masih bisa menjadi awal dari api yang hangat.
> Semangat yang pudar bukan akhir dari segalanya.
Ia hanya jeda,
agar kau bisa kembali
dengan cahaya yang lebih tulus.
Aku akan terus berjalan.
Bukan karena aku tak pernah letih,
tapi karena aku mulai percaya,
bahwa di dalam langkah yang pelan,
ada kekuatan yang tak terlihat.
> Aku bukan nyala besar.
Tapi aku juga bukan kegelapan.
Aku adalah cahaya yang pernah meredup,
tapi tak pernah benar-benar hilang.
---
Penutup – Pelita Itu Masih Ada
> Tidak semua cahaya datang dari luar.
Kadang, yang paling hangat
adalah cahaya kecil dari hati yang pernah patah
tapi memilih tetap bernyala.
Jika kau sampai di halaman ini,
berarti kau sudah membaca seluruh perjalanan
dari luka, lelah, kehilangan,
hingga harapan kecil yang perlahan tumbuh kembali.
Aku tidak akan berkata bahwa semuanya akan mudah.
Tapi aku ingin kau tahu:
bahkan nyala yang paling redup pun
masih berarti.
> Kau tak harus selalu kuat.
Tapi semoga kau cukup berani
untuk tetap ada,
satu hari lagi,
satu langkah lagi.
Terima kasih sudah membuka hatimu
untuk setiap kata dalam buku ini.
Semoga pelita di dadamu
meski kecil,
tetap cukup untuk menemani langkahmu.
> Nyala yang meredup,
bukan berarti padam.
Ia hanya menunggu
untuk kembali menemukan arah.
— Muhammad Maulana Firmansyah
Komentar