Nyala yang Meredup


‎Judul: Nyala yang Meredup

‎Subjudul: Sebuah Refleksi Puitis tentang Semangat yang Pudar

Daftar Isi


‎1. Kata Pengantar


‎2. Bagian I – Ketika Api Itu Mulai Mengecil


‎3. Bagian II – Retak dalam Dada


‎4. Bagian III – Langkah yang Tak Lagi Tegap



‎5. Bagian IV – Di Antara Gelap dan Terang


‎6. Bagian V – Nyala yang Belum Padam


‎7. Penutup


---

‎Kata Pengantar

Untukmu yang sedang letih,
‎yang merasa nyalanya tak lagi menyala seperti dulu.
‎Buku ini kutulis untuk menemanimu,
‎bukan untuk menyembuhkan,
‎tapi untuk membuatmu merasa:
‎kamu tidak sendiri.

‎Semua orang pernah redup.
‎Dan dalam redup itu,
‎kadang kita belajar paling banyak tentang cahaya.


‎---

‎Bagian I – Cahaya yang Dulu Menyala


‎> Dulu, aku adalah api kecil
‎yang menari dalam dada,
‎membakar malam dengan mimpi
‎dan menantang fajar dengan nyali.

‎Setiap detak adalah nyanyian
‎dari semesta yang percaya padaku.
‎Tapi kini, dengarkan sunyi ini—
‎hanya desir angin yang ragu.

‎Katakan, di mana tempat
‎kutinggalkan bara itu?
‎Adakah ia padam
‎karena terlalu sering kuyakin
‎bahwa aku masih kuat?



‎> Aku pernah berlari tanpa alas,
‎demi mimpi yang kutulis sendiri.
‎Kini aku bahkan lupa
‎seperti apa rasanya percaya.

‎Lelah ini bukan dari tubuh,
‎tapi dari harapan yang tak pulih.

‎Kau tahu rasanya?
‎Ketika dunia tak menghalangi,
‎tapi hatimu sendiri yang menyerah?


‎---


‎> Aku ingat saat pertama kali bermimpi,
‎tidak ada batas, tidak ada ragu.
‎Hanya langit, dan aku,
‎dengan dada yang penuh langit juga.



‎> Hari-hari kala itu seperti nyala lilin
‎dalam gelap kamar yang sunyi,
‎kecil, namun cukup untuk percaya
‎bahwa gelap tidak akan menang.



‎Aku duduk dalam kenangan
‎seperti duduk di tepi ranjang masa kecil,
‎menatap langit-langit
‎dan bertanya pada Tuhan
‎kenapa semangat bisa hilang
‎padahal aku belum selesai mencintai hidup?

‎Dulu, aku bangun dengan semangat
‎yang meluap seperti hujan bulan Juni.
‎Bahkan ketika tidak ada yang memelukku,
‎aku tahu dunia masih baik.
‎Masih ada ruang untuk jatuh dan bangkit.
‎Masih ada alasan untuk bertahan.

‎Kini, aku membuka mata
‎dan tak lagi tahu untuk siapa aku hidup.
‎Tidak ada pagi yang kunantikan,
‎karena semua terasa sama:
‎kosong, hambar, tak berwarna.

‎> Ada yang hilang dariku
‎dan aku tak tahu bagaimana mencarinya.
‎Mungkin tertinggal di jalan
‎yang tak lagi kutempuh.
‎Atau tenggelam
‎dalam air mata yang tak pernah benar-benar jatuh.



‎Aku mencoba mengingat
‎kapan terakhir aku benar-benar tertawa.
‎Tertawa tanpa kepalsuan.
‎Tertawa karena bahagia, bukan karena sopan.
‎Kapan terakhir aku menangis,
‎karena memang tak kuat lagi?

‎Semangat itu dulu ada di setiap langkah.
‎Setiap tujuan kecil jadi alasan untuk terus berjalan.
‎Tapi kini… langkah pun tak lagi punya arah.
‎Aku berjalan hanya karena hidup menuntut.
‎Bukan karena aku ingin sampai.

‎> Dunia tidak berubah.
‎Aku yang berubah.
‎Atau mungkin… aku yang lelah.

‎Lelah menjadi kuat.
‎Lelah menjadi harapan.
‎Lelah menjadi yang selalu bisa.



‎Mereka bilang, “kamu hebat, kamu tangguh.”
‎Tapi tak ada yang tahu
‎berapa malam kuhabiskan untuk
‎meyakinkan diri sendiri bahwa aku masih bisa.
‎Bahwa aku belum menyerah.

‎Dan malam-malam itu panjang,
‎sunyi, menusuk,
‎seperti jarum halus yang pelan-pelan
‎menusuk hati tanpa luka yang terlihat.

‎> Pernahkah kau merasa
‎hidup adalah panggung,
‎dan kau diminta tersenyum
‎bahkan saat jiwamu retak di balik layar?




‎Semangat itu dulu seperti nyanyian ibu
‎saat aku masih kecil.
‎Hangat, tenang, dan penuh keyakinan.
‎Kini, tak ada lagi nyanyian.
‎Hanya gema kosong dari masa lalu
‎yang berbisik lirih:
‎kamu pernah percaya…
‎kamu pernah kuat…

‎Dan aku ingin bertanya pada diriku yang dulu:
‎Bagaimana caramu bertahan?
‎Bagaimana caramu tersenyum
‎saat semua terasa terlalu berat?

‎Tapi aku tahu…
‎Jawabannya tidak ada di masa lalu.
‎Jawabannya harus kutemukan
‎dalam diriku yang sekarang.


‎---

‎> Karena meskipun nyala itu meredup,
‎belum tentu ia padam.
‎Mungkin… hanya butuh hembusan lembut
‎untuk hidup kembali.

‎---


‎> Aku pernah percaya bahwa luka bisa jadi pelajaran.
‎Tapi bagaimana jika lukanya tak kunjung sembuh?
‎Bagaimana jika pelajaran itu
‎justru membuatmu takut mencoba lagi?



‎Aku berusaha meraba kembali
‎bayangan tentang diriku yang dulu,
‎yang berani bermimpi besar
‎meski dunia belum tentu memberi ruang.

‎Kini aku hanya melihat sosok
‎dengan mata redup dan napas berat,
‎yang bangun pagi bukan karena semangat,
‎tapi karena waktu memaksa.

‎> Dulu, aku percaya pada proses.
‎Kini, aku bahkan tak tahu
‎apakah proses itu membawa ke arah yang benar.
‎Atau justru menyeretku
‎lebih dalam ke jurang yang tak terlihat.



‎Pernah ada satu pagi,
‎aku duduk di teras rumah,
‎menatap matahari yang pelan-pelan naik,
‎dan rasanya…
‎tak ada apa pun yang ingin kukejar hari itu.
‎Tak ada apa pun yang ingin kucapai.

‎Aku diam cukup lama,
‎hingga kutahu:
‎diamku bukan karena tenang,
‎tapi karena kehilangan alasan untuk bergerak.

‎> Mereka bilang,
‎semangat bisa tumbuh dari hal-hal kecil.
‎Tapi bagaimana jika semua yang kecil itu
‎tak lagi mampu menyentuh hatimu?




‎Aku mencoba menulis,
‎seperti dulu saat aku penuh ide dan harapan.
‎Tapi kalimat-kalimat itu hambar,
‎tak ada jiwa, tak ada nyala.

‎Kertas tetap kosong,
‎bukan karena tak ada kata,
‎tapi karena tak ada api di dalam dada
‎untuk menghidupkan kata-kata.

‎> Aku ingin menangis,
‎tapi bahkan air mataku pun
‎seolah tak lagi mau mengalir.
‎Seperti tubuh ini sudah terlalu lama menahan,
‎dan kini tak tahu cara melepaskan.




‎Aku bertanya pada cermin,
‎siapa yang kau lihat?
‎Bukan lagi pemuda yang percaya dunia bisa ditaklukkan,
‎tapi seseorang yang hanya ingin hari ini cepat selesai.

‎Bukan karena banyak yang harus dilakukan,
‎tapi karena hidup terasa terlalu panjang
‎untuk dijalani tanpa tujuan.

‎> Pernah aku berjalan di tengah keramaian,
‎tapi tetap merasa sendirian.
‎Seperti dunia bergerak cepat
‎dan aku tertinggal jauh di belakang.



‎Aku iri pada orang-orang yang tertawa lepas.
‎Bukan karena aku ingin hidup mereka,
‎tapi karena aku ingin kembali
‎merasakan ringan di dada.

‎> “Kamu baik-baik saja?”
‎Sebuah pertanyaan sederhana,
‎tapi jawabannya tak pernah sesederhana itu.


‎Kadangadang aku ingin menjawab, “Tidak, aku tidak baik-baik saja.” ‎Tapi siapa yang mau mendengar luka ‎yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata?

> Aku tidak ingin dikasihani,
‎hanya ingin dipahami.
‎Tapi dunia terlalu sibuk
‎untuk memahami yang tidak terlihat.



‎Dan di sinilah aku,
‎duduk di antara tumpukan harapan
‎yang mulai lapuk dimakan waktu.
‎Bersama semangat yang dulu menyala,
‎kini tinggal bara kecil yang nyaris padam.

‎Tapi…
‎di tengah kehampaan ini,
‎masih ada satu hal yang kurasa belum hilang sepenuhnya:

‎> Keinginan untuk percaya lagi.
‎Meski kecil, meski rapuh,
‎ia masih ada.



‎Dan mungkin, itu cukup.
‎Untuk memulai lagi.
‎Untuk tidak menyerah hari ini.
‎Untuk memberi kesempatan
‎bagi semangat yang meredup…
‎untuk menyala kembali.


‎---

‎Bagian II – Retak dalam Dada



‎> Tidak semua luka terlihat.
‎Beberapa hanya terdengar dalam keheningan,
‎saat hati berbicara sendiri,
‎pelan… takut ada yang mendengar.




‎Pernahkah kau merasa hancur
‎tanpa tahu bagian mana yang lebih dulu retak?

‎Aku pernah.
‎Dan masih.

‎> Dada ini…
‎bukan sekadar tempat berdenyutnya jantung,
‎tapi ruang penuh cerita
‎yang tak sempat selesai ditulis.




‎Setiap hari aku berpura-pura kuat,
‎menjadi topeng dari versi diriku
‎yang tak ingin dilihat orang lain.
‎Versi yang lelah,
‎yang rapuh,
‎yang menangis dalam diam.

‎> Ada retakan kecil yang dulu kuabaikan.
‎Kujawab dengan: "Aku baik-baik saja."
‎Padahal aku sedang tenggelam
‎di dalam diriku sendiri.



‎Retakan itu membesar.
‎Menganga seperti luka terbuka
‎yang disentuh oleh waktu,
‎oleh kecewa,
‎oleh harapan yang tak jadi nyata.

‎Aku terlalu lama percaya
‎bahwa aku harus selalu bisa.
‎Bahwa air mata adalah kelemahan.
‎Bahwa mengeluh hanya akan membuatku lebih lemah.

‎Tapi ternyata…
‎yang membuatku rapuh
‎bukan karena aku menangis,
‎melainkan karena terlalu lama memendam.

‎> Ada rasa yang tak bisa dijelaskan:
‎seperti terjatuh dari ketinggian,
‎tapi tidak sampai menyentuh tanah.
‎Menggantung dalam kepedihan
‎yang tak ada akhirnya.




‎Aku menyimpan semuanya sendiri.
‎Karena tidak semua orang bisa mendengar
‎jerit yang tak bersuara.

‎Karena tidak semua yang dekat
‎mampu menjadi tempat pulang.

‎> Pernah kubuka luka itu,
‎tapi yang kuterima hanya nasihat,
‎bukan pelukan.
‎Kata-kata, bukan kehadiran.



‎Kadang aku tidak butuh solusi.
‎Aku hanya butuh ditemani.
‎Duduk di sampingku,
‎tanpa bicara, tanpa menghakimi.

‎Karena luka ini tidak minta disembuhkan,
‎ia hanya ingin dipahami.

‎> "Mengapa kamu berubah?"
‎Mereka bertanya.
‎Tapi tidak ada yang bertanya,

‎"Apa yang telah kamu lalui?"



‎Dulu aku bercerita dengan mudah,
‎tapi sekarang bahkan kata pun terasa asing.
‎Karena terlalu sering kecewa
‎pada orang yang datang hanya saat senang.

‎> Dan ketika aku benar-benar butuh…
‎aku sendirian.



‎Aku belajar menyembuhkan diri sendiri,
‎dengan pelan, dengan hati-hati.
‎Meski tangan ini gemetar
‎dan mata sembab oleh malam yang panjang.

‎Aku belajar bahwa tidak apa-apa
‎untuk hancur dulu,
‎asal jangan hilang sepenuhnya.

‎> Karena retak tidak selalu berarti rusak.
‎Kadang ia hanya pengingat,
‎bahwa aku juga manusia.



‎Dan di antara kepingan hatiku yang pecah,
‎masih ada satu sudut kecil
‎yang tetap utuh.

‎Sudut di mana harapan kecil bersandar,
‎menunggu waktu yang tepat
‎untuk kembali percaya.

‎> Dada ini masih sesak,
‎tapi sekarang aku tahu:
‎bukan karena kelemahan,
‎melainkan karena terlalu lama menahan kuat.



‎Aku menatap langit malam,
‎bukan untuk mencari bintang,
‎tapi untuk merasa kecil,
‎agar aku tahu
‎bahwa semua ini bukan akhir.

‎Retak ini bukan kehancuran.
‎Retak ini adalah ruang
‎di mana cahaya baru bisa masuk.


‎---


‎Bagian III – Langkah yang Tak Lagi Tegap



‎> Dahulu, setiap langkahku punya arah.
‎Kini, aku hanya berjalan
‎agar terlihat masih hidup.
‎Padahal hatiku duduk
‎di satu sudut yang tak lagi percaya.




‎Aku masih berjalan,
‎meski tak tahu ke mana.
‎Bukan karena yakin,
‎tapi karena diam membuatku
‎terlalu akrab dengan kehampaan.

‎> Kakiku tetap melangkah,
‎meski jiwaku tertinggal jauh di belakang.
‎Langkah ini seperti ritual yang tak lagi suci,
‎hanya gerakan tubuh
‎tanpa rasa.




‎Dulu, jalan-jalan kecil memberi harapan:
‎menuju sekolah, kantor, mimpi.
‎Kini…
‎semua jalan terasa datar.
‎Tak ada tanjakan harapan
‎atau turunan rasa syukur.

‎Aku berjalan bukan karena semangat,
‎tapi karena takut mati rasa.

‎> Ketegapan itu dulu dibangun
‎dari harapan, kepercayaan, dan cinta.
‎Tapi semua itu kini
‎hanya serpih di dasar hati
‎yang tak sempat kuambil kembali.



‎Kucoba ingat kapan terakhir aku bangkit
‎dari jatuh, bukan karena terpaksa,
‎tapi karena aku ingin melanjutkan hidup.
‎Tapi memori itu kabur…
‎seperti diliputi kabut tak berujung.

‎> Setiap langkah seperti dialog
‎antara aku yang dulu dan aku yang kini.
‎Dulu: "Ayo kita coba lagi."
‎Kini: "Untuk apa?"



‎Aku tahu hidup tidak mudah.
‎Tapi aku juga tahu,
‎bahwa bukan hidup yang membuatku rapuh,
‎melainkan kehilangan keyakinan pada diri sendiri.

‎> Mereka melihatku masih berdiri.
‎Tapi tidak tahu
‎betapa kakiku gemetar menahan dunia.



‎Pernah, aku menatap cermin
‎dan bertanya:
‎“Apakah ini aku yang dulu berani?”
‎Jawaban tak pernah datang,
‎karena yang kutatap
‎adalah seseorang yang tak kukenal.

‎> Dulu aku percaya bahwa jatuh itu wajar,
‎dan bangkit adalah bagian dari hidup.
‎Tapi bagaimana jika kau terlalu sering jatuh,
‎hingga bangkit pun terasa sia-sia?




‎Langkahku kini bukan tentang bergerak,
‎tapi tentang bertahan.
‎Bertahan dari malam-malam dingin,
‎dari siang yang hampa,
‎dari diri sendiri yang ingin menyerah.

‎> Aku menapaki hari-hari
‎seperti berjalan di pasir panjang:
‎setiap jejak tertinggal,
‎tapi tak pernah cukup dalam
‎untuk menjadi kenangan.




‎Orang-orang mengira aku kuat.
‎Padahal aku hanya tak tahu
‎bagaimana caranya menyerah
‎tanpa benar-benar hilang.

‎> Setiap kali aku mencoba melambat,
‎hidup mendorongku lebih keras.
‎Dan aku…
‎hanya bisa pasrah.



‎Tegapku kini bukan karena percaya diri,
‎melainkan karena kebiasaan.
‎Kebiasaan untuk tetap jalan
‎meski jiwa ingin berhenti.

‎> Tapi jauh di dasar hati,
‎masih ada bisikan pelan:
‎"Kamu sudah sejauh ini,
‎meski tanpa semangat,
‎kamu masih di sini."




‎Dan barangkali, itu cukup.
‎Bukan sebagai kemenangan,
‎tapi sebagai bukti
‎bahwa aku belum kalah.

‎> Mungkin langkahku tak lagi tegap,
‎tapi setiap pijak adalah perlawanan.
‎Dan diam-diam,
‎aku mulai percaya bahwa
‎melanjutkan hidup meski lelah,
‎adalah bentuk keberanian paling sunyi.




‎---

‎Bagian IV – Di Antara Gelap dan Terang



‎> Ada masa ketika aku tidak ingin pagi datang,
‎karena malam memberiku alasan
‎untuk diam tanpa ditanya.
‎Tapi juga takut gelap,
‎karena terlalu banyak suara dalam kepalaku.




‎Aku hidup dalam bayang-bayang
‎antara gelap yang menenangkan
‎dan terang yang menghakimi.
‎Di malam, aku bisa menangis
‎tanpa ada yang tahu.
‎Di siang, aku harus tersenyum
‎agar dunia merasa nyaman.

‎> Di antara gelap dan terang,
‎aku menjadi asing bagi diri sendiri.
‎Tidak benar-benar hidup,
‎tapi juga belum mati rasa.



‎Malam adalah peluk paling jujur.
‎Ia tak bertanya kenapa aku murung.
‎Ia hanya ada.
‎Dan kehadirannya tak menuntut kebahagiaan.

‎Sedang siang…
‎menyilaukan.
‎Menyodorkan kenyataan
‎yang belum siap kuterima:
‎bahwa dunia terus berjalan,
‎bahkan saat hatiku ingin berhenti.

‎> Di batas senja,
‎aku berdiri sendirian,
‎menatap langit yang ragu:
‎hendak menjadi malam
‎atau tetap bertahan sebagai siang.



‎Aku menyukai senja,
‎bukan karena keindahannya,
‎tapi karena ia mengerti rasa ragu.
‎Ragu untuk lanjut,
‎ragu untuk mundur.
‎Seperti diriku.

‎> "Kapan terakhir kali kamu benar-benar merasa damai?"
‎Pertanyaan itu seperti cahaya kecil
‎yang menyusup di antara retakan gelapku.




‎Aku tidak bisa menjawab pasti.
‎Yang kuingat hanya serpihan momen:
‎tawa kecil di sore mendung,
‎pelukan diam di tengah gaduh,
‎secangkir kopi hangat tanpa percakapan.

‎> Ternyata, damai bukan tentang bebas dari luka.
‎Tapi tentang hadir sepenuhnya,
‎walau hati masih mengeringkan air mata.




‎Aku belajar pelan-pelan
‎untuk tidak terlalu benci pada terang.
‎Karena kadang, cahaya tak datang dari luar,
‎tapi dari dalam—meski kecil, meski redup.

‎Dan gelap,
‎tak selalu musuh.
‎Ia adalah ruang di mana aku belajar
‎mendengar bisikan jiwaku sendiri.

‎> Di antara gelap dan terang,
‎aku menemukan ruang untuk menjadi utuh:
‎Tak harus kuat, tak harus bahagia,
‎cukup jujur pada diri sendiri.




‎Aku mulai menerima,
‎bahwa luka tidak harus hilang
‎untuk bisa merasa hidup.
‎Bahwa aku tidak harus menunggu pulih
‎untuk melanjutkan perjalanan.

‎> Mungkin aku tak akan pernah kembali
‎menjadi seperti dulu.
‎Tapi mungkin…
‎itu bukan hal yang buruk.




‎Karena di antara gelap dan terang,
‎aku menemukan versi diriku yang baru:
‎lebih pelan,
‎lebih hening,
‎tapi juga lebih tulus.

‎> Cahaya tidak harus besar.
‎Cukup satu titik kecil,
‎untuk menunjukkan jalan pulang
‎pada hati yang lelah.





‎---

‎Bagian V – Nyala yang Belum Padam



‎> Aku pernah mengira semangatku telah mati,
‎padahal ia hanya bersembunyi.
‎Di antara hening, tangis, dan rasa lelah
‎yang tak bisa kuterjemahkan.




‎Hari-hari terus berganti,
‎dan meski aku masih belum sepenuhnya pulih,
‎aku tahu satu hal:
‎aku masih di sini.

‎> Masih bernapas.
‎Masih bangun tiap pagi.
‎Masih menatap dunia,
‎meski dengan mata yang basah.




‎Semangat bukan tentang teriakan lantang,
‎bukan juga tentang tawa yang keras.
‎Kadang, semangat hadir
‎dalam bentuk detak jantung yang bertahan
‎meski ingin berhenti.

‎Aku mulai percaya,
‎bahwa tidak apa-apa berjalan pelan.
‎Tidak apa-apa jatuh dan butuh waktu lama
‎untuk bangkit.

‎> Karena hidup bukan perlombaan,
‎tapi perjalanan pulang
‎ke dalam diri sendiri.



‎Di dalam reruntuhan hatiku,
‎kupungut satu-satu serpih harapan
‎yang dulu kubiarkan hilang.

‎Aku kumpulkan,
‎meski gemetar,
‎dan perlahan kususun ulang
‎diri yang sempat hilang arah.

‎> Aku tak lagi mencari semangat yang dulu,
‎karena yang dulu adalah aku yang lama.
‎Kini aku butuh nyala baru,
‎dari luka yang telah mengajarkanku
‎arti bertahan.



‎Dan aku mulai menemukannya.
‎Dalam senyuman kecil saat matahari terbit.
‎Dalam kesunyian yang tak lagi menakutkan.
‎Dalam langkah ringan meski tertatih.

‎> Ternyata, nyala itu tak pernah benar-benar padam.
‎Ia hanya meredup,
‎menungguku belajar menghargai cahaya
‎yang lahir dari kegelapan.



‎Kini aku tahu:
‎Aku tidak lemah.
‎Aku hanya manusia yang pernah lelah.

‎Aku tidak gagal.
‎Aku hanya belajar
‎bahwa bangkit tidak harus dengan gegap gempita.
‎Kadang cukup dengan bisikan lirih:
‎“Aku mencoba lagi hari ini.”

‎> Dan itu sudah cukup.
‎Karena tidak semua nyala harus membakar dunia.
‎Kadang, cukup menyala di dalam dada
‎agar kita tidak tenggelam sepenuhnya.




‎Hari ini, aku tidak berkata:
‎“Aku telah sembuh.”
‎Tapi aku berkata:
“Aku lebih kuat dari kemarin.”


‎> Aku masih merasakan gelap,
‎tapi aku juga tahu
‎bagaimana caranya menyalakan cahaya kecil
‎dari dalam diriku sendiri.



‎Dan untuk kamu,
‎yang pernah merasa seperti aku:
‎jangan buru-buru padam.
‎Karena kadang,
‎yang paling kecil dan paling redup pun
‎masih bisa menjadi awal dari api yang hangat.

> Semangat yang pudar bukan akhir dari segalanya.
‎Ia hanya jeda,
‎agar kau bisa kembali
‎dengan cahaya yang lebih tulus.




‎Aku akan terus berjalan.
‎Bukan karena aku tak pernah letih,
‎tapi karena aku mulai percaya,
‎bahwa di dalam langkah yang pelan,
‎ada kekuatan yang tak terlihat.


‎> Aku bukan nyala besar.
‎Tapi aku juga bukan kegelapan.
‎Aku adalah cahaya yang pernah meredup,
‎tapi tak pernah benar-benar hilang.


‎---



‎Penutup – Pelita Itu Masih Ada




‎> Tidak semua cahaya datang dari luar.
‎Kadang, yang paling hangat
‎adalah cahaya kecil dari hati yang pernah patah
‎tapi memilih tetap bernyala.




‎Jika kau sampai di halaman ini,
‎berarti kau sudah membaca seluruh perjalanan
‎dari luka, lelah, kehilangan,
‎hingga harapan kecil yang perlahan tumbuh kembali.

‎Aku tidak akan berkata bahwa semuanya akan mudah.
‎Tapi aku ingin kau tahu:
‎bahkan nyala yang paling redup pun
‎masih berarti.

> Kau tak harus selalu kuat.
‎Tapi semoga kau cukup berani
‎untuk tetap ada,
‎satu hari lagi,
‎satu langkah lagi.




‎Terima kasih sudah membuka hatimu
‎untuk setiap kata dalam buku ini.
‎Semoga pelita di dadamu
‎meski kecil,
‎tetap cukup untuk menemani langkahmu.


‎> Nyala yang meredup,
‎bukan berarti padam.
‎Ia hanya menunggu
‎untuk kembali menemukan arah.




‎— Muhammad Maulana Firmansyah


Komentar

Postingan Populer