Jejak yang Tak Sampai: Puisi tentang Impian yang Hancur
Judul Buku: Jejak yang Tak Sampai: Puisi tentang Impian yang Hancur
Tema:
Kumpulan refleksi dan puisi panjang tentang mimpi yang tidak pernah menjadi nyata. Buku ini menyuarakan suara mereka yang pernah berharap, pernah berjuang, tapi harus belajar menerima kenyataan yang tak seperti harapan.
---
Struktur Buku:
Prolog – Suara Sebelum Senyap
Bab 1: Benih Mimpi
Bab 2: Jalan yang Retak
Bab 3: Ketika Dunia Membisu
Bab 4: Di Ujung Asa
Bab 5: Runtuh Tanpa Gempa
Epilog: Diam yang Menyala
---
Prolog: Suara Sebelum Senyap
Kita pernah duduk di bawah langit
dengan dada penuh harapan,
dan tangan yang menunjuk bintang
seolah semuanya bisa digenggam.
Kita pernah menulis nama sendiri
di halaman kosong bernama masa depan
tanpa tahu, bahwa kertas itu
bisa terbakar oleh kenyataan.
Impian tidak selalu meledak seperti petasan
kadang ia hanya hilang, pelan-pelan
seperti daun yang gugur tanpa suara
dari pohon yang tak lagi percaya musim.
Buku ini kutulis untuk mereka
yang pernah ingin menjadi cahaya
tapi kini hanya bayangan
di tengah gelap yang tak selesai.
---
Bab 1: Benih Mimpi
Dulu, aku percaya bahwa langit bisa digapai
bahwa yang patah bisa disambung
dan yang jauh bisa didekati
dengan cukup tekad dan waktu.
Aku menyimpan mimpiku di bawah bantal
dan membawanya ke dalam tidur setiap malam
seperti anak kecil memeluk boneka lusuh
percaya ia bisa menjaganya dari dunia.
Mimpiku bukan istana
bukan nama di panggung atau suara tepuk tangan
mimpiku sederhana:
menjadi versi terbaik dari diriku sendiri.
Aku menanamnya di ladang harapan
menyiram dengan kerja keras
menyanyikannya lagu-lagu doa
dan berharap semesta ikut menjaga.
Tapi tidak semua benih tumbuh
kadang tanahnya terlalu keras
kadang langitnya terlalu kering
dan kadang, tangan kita sendiri
yang tak sadar merusaknya.
Aku tumbuh dengan janji-janji
yang tak pernah benar-benar dijanjikan
dengan kata-kata “kamu pasti bisa”
yang tak tahu betapa beratnya “mencoba”.
Dunia berkata, "bermimpilah setinggi langit"
tapi tak bilang bahwa jatuhnya bisa setajam batu
dan sakitnya tidak selalu tampak
tapi terasa di setiap tarikan napas.
Di sekolah, aku menuliskan cita-cita
dengan huruf besar dan semangat
tapi tak ada yang bilang bahwa kehidupan
kadang tak membaca catatan kita.
Aku belajar keras
bertahan dalam gelap
menyusun harapan seperti mozaik
sambil menutup telinga dari tawa-tawa sinis.
Namun, di satu titik
aku mulai melihat retak pada kaca harapanku
satu per satu, mimpi itu pecah
dan tak semua bisa kucoba sambung.
Tapi saat itu aku belum menyerah
aku percaya ini hanya ujian
seperti badai yang hanya lewat
seperti luka yang akan sembuh.
Aku berkata pada diriku sendiri,
"kau hanya perlu sedikit lagi… hanya sedikit lagi…”
tapi tak kusadari, aku telah mengulang kalimat itu
selama bertahun-tahun, dan belum juga sampai.
Mimpi bukan sekadar peta
ia adalah pelabuhan yang bisa hilang
dan kapal kita, tak selalu sampai
bahkan jika layar kita penuh doa.
Kini, aku duduk di antara serpihan
dan bertanya:
apakah aku salah bermimpi?
atau dunia yang terlalu sempit untuk harapanku?
Tapi jawabannya tak pernah jelas
karena dunia tak memberi alasan
hanya kenyataan
yang harus kita telan, meski pahitnya lama hilang.
Namun…
aku tak menyesal pernah bermimpi
karena di dalam mimpi itu
aku sempat merasa hidup.
---
Bab 2: Jalan yang Retak
Aku mulai berjalan
dengan langkah ragu namun penuh harap,
menuju dunia yang katanya bisa ditaklukkan
asal tekadmu tak padam.
Tapi tak ada yang berkata bahwa jalan ini
bisa retak tanpa suara,
bahwa aspal yang kau pijak
bisa berubah menjadi jurang yang diam-diam menganga.
Dulu aku percaya, semua hal indah
hanya butuh usaha dan waktu,
tapi waktu mulai mencuri sebagian semangatku
dan usaha tak selalu menghasilkan apa-apa.
Aku pernah menulis lamaran kerja
dengan tangan gemetar tapi hati penuh nyala,
dan menerima balasan yang tak datang
kecuali hening yang menusuk dada.
Aku melihat teman-teman naik tangga
sementara aku terpeleset di anak pertama,
dan mereka berkata,
“tetap semangat ya,” sambil menoleh sekilas.
Aku tersenyum sambil menahan luka
karena dalam hati, aku mulai bertanya:
apakah mungkin, ini bukan jalanku?
atau memang tidak ada jalan untukku?
Aku mencari pintu di dinding yang terus meninggi
mengetuk peluang yang tak pernah terbuka,
hingga akhirnya, aku duduk di lantai
dengan dada kosong dan mata penuh tanya.
Aku tahu, tak semua bisa berhasil
tapi aku tidak pernah siap
menjadi salah satu dari mereka yang harus berhenti
bukan karena tak mau,
tapi karena tak tahu harus bagaimana lagi.
Malam-malam mulai terasa lebih panjang
bukan karena waktu,
tapi karena pikiran yang tak mau berhenti
memutar ulang semua kegagalan.
“Kenapa aku?”
Pertanyaan itu berulang dalam diam
seperti gema di gua yang sepi
tak ada jawaban, hanya suara sendiri yang kembali.
Orang-orang berkata:
"bersyukurlah, banyak yang lebih buruk darimu,"
tapi hati tak pernah pandai berhitung
karena luka bukan soal perbandingan.
Aku pernah percaya bahwa aku akan sampai
tapi nyatanya, peta yang kugenggam
ternyata menuju tempat yang tidak ada.
Mimpiku adalah istana
yang perlahan jadi reruntuhan
batu demi batu gugur
dan tak sempat kuselamatkan apa pun.
Aku lelah menulis surat pada langit
lelah berdoa sambil mengukur sabar
karena tidak semua yang kita doakan
mau datang meski kita memanggilnya setiap hari.
Hari demi hari berlalu
dan aku mulai hidup dengan satu kaki
satu di kenyataan, satu di harapan
tapi semakin lama, yang berdiri di harapan mulai lumpuh.
Aku tetap mencoba, tentu saja
karena aku tak ingin menyerah begitu saja
tapi aku mulai sadar,
berjuang tanpa arah bisa lebih melelahkan
daripada berhenti dan meratap.
Ada saatnya aku memeluk diriku sendiri
dan berkata:
“mungkin, ini bukan untukmu… dan itu tidak apa-apa.”
meski aku tahu, itu tetap menyakitkan.
Kadang aku tertawa di depan orang lain
karena air mata bukan bahasa yang bisa dipahami semua orang.
Dan kadang, aku tak berkata apa pun
karena tidak semua luka bisa dijelaskan dengan kata.
Mereka melihatku
sebagai seseorang yang ‘masih kuat’
padahal aku hanya belajar bagaimana menyembunyikan retak
agar tak terlihat pecah.
Aku mulai berjalan lebih lambat
bukan karena malas,
tapi karena aku takut jatuh lagi
dan tak sanggup bangun.
Jalan yang kupikir lurus
ternyata bercabang ke arah yang tak kumengerti
dan tidak semua cabang membawa kita ke tempat yang lebih baik.
Aku bertemu dengan keheningan
dan ia jadi sahabat terbaikku
karena ia tak pernah menilai
dan hanya menemani.
Tak mudah menerima bahwa tidak semua impian
akan terwujud.
Tapi lebih sulit lagi
menerima bahwa kita harus melepasnya.
Dan saat aku duduk di tengah jalan yang retak
dikelilingi bayangan mereka yang berhasil,
aku tahu — aku harus memilih:
terus memaksa, atau pelan-pelan mengikhlaskan.
Tapi ikhlas bukan berarti tidak sakit
itu hanya cara lain untuk bertahan
dengan dada yang tetap berdetak
meski penuh luka yang tak bisa dilihat.
---
Bab 3: Ketika Dunia Membisu
Aku pernah mencoba berteriak
di tengah riuhnya dunia,
tapi suara hatiku
selalu kalah oleh bising yang tidak peduli.
Aku pernah mengulurkan tangan
bukan untuk meminta,
hanya agar seseorang tahu
bahwa aku masih di sini… masih mencoba.
Tapi dunia membisu.
Ia tak menjawab.
Ia hanya berjalan terus,
melewati aku yang mulai diam.
Mereka bilang, “semangat ya”
dengan suara datar,
lalu berlalu
seperti tak ada yang pernah jatuh di hadapan mereka.
Aku mulai terbiasa dengan kesepian
yang tak berisik,
tapi menyiksa
seperti air yang perlahan memenuhi paru-paru.
Setiap pagi terasa sama:
bangun, berharap, gagal, diam.
Tak ada pelukan,
hanya tatapan kaca yang memantulkan sisa-sisa percaya diri.
Aku mulai bicara pada diri sendiri
bukan karena gila,
tapi karena hanya aku
yang masih mau mendengar ceritaku.
Teman-temanku mulai menjauh
bukan karena mereka jahat,
mungkin karena aku tak lagi menyenangkan
untuk diajak bicara.
Aku mengerti,
tak semua orang bisa bertahan
menemani seseorang
yang kehilangan arah dan suara.
Jadi aku diam.
Dan dunia pun diam.
Kami saling membisu
dalam jarak yang makin jauh.
Kadang aku membuka media sosial
melihat hidup orang lain yang penuh warna
dan bertanya dalam hati,
“apakah aku sedang hidup atau hanya bertahan?”
Foto-foto bahagia
adalah gema yang menyakitkan
bagi hati yang sedang tenggelam
dalam gelap yang tak bisa dibagikan.
Aku pernah mencoba tersenyum
untuk tidak terlihat lemah,
tapi hati tak bisa dibohongi
meski wajah bisa dilatih.
Dunia mengajarkanku
bahwa siapa yang bersuara paling keras
yang akan didengar.
Tapi aku tak bisa teriak — suaraku tenggelam oleh kecewa.
Aku pernah mengirim pesan panjang
kepada seseorang yang kusebut sahabat
hanya untuk mendapat balasan,
“maaf ya, aku sibuk.”
Sibuk…
kata yang terdengar seperti penolakan
yang dibungkus sopan.
Dan sejak itu, aku berhenti menulis panjang.
Aku menjadi puisi
yang tak pernah selesai
karena tak ada pembaca
yang sabar untuk sampai ke bait terakhir.
Ketika dunia membisu,
aku belajar mendengar suara hatiku sendiri
yang ternyata lebih jujur
daripada kata-kata yang datang dari luar.
Tapi kejujuran kadang menakutkan.
Ia berkata:
“kau lelah.”
“kau hampa.”
“kau sedang berjalan di jalan yang tak mengarah ke mana-mana.”
Dan aku hanya bisa menjawab
dengan diam yang menyesakkan.
Aku tahu, aku masih hidup
karena aku masih merasa sakit.
Dan sakit adalah bukti
bahwa aku belum sepenuhnya mati.
Tapi apa arti hidup
jika hari demi hari
hanya tentang bertahan,
bukan lagi tentang harapan?
Aku mulai memeluk malam
sebagai satu-satunya tempat
di mana aku tak harus tersenyum
atau menjelaskan apa pun.
Aku menatap atap kamar
dan berkata pada Tuhan
dengan suara nyaris hilang,
“kalau ini bukan takdirku… kenapa dulu aku diberi mimpi?”
Tak ada suara yang menjawab.
Hanya angin
yang lewat dari jendela kecil
membawa dingin yang tidak memberiku pengertian.
Tapi aku tetap bertanya.
Karena kadang,
bertanya adalah satu-satunya cara
untuk tetap waras.
Di luar sana, dunia terus bergerak
sementara aku
masih di tempat yang sama
dengan hati yang tak tahu harus ke mana.
Mereka bilang:
"waktumu akan datang."
tapi kapan?
karena aku sudah terlalu lama menunggu di halte sunyi ini.
Dan jika waktuku tak pernah datang,
apakah aku harus menyalahkan diriku
karena terlalu percaya
pada janji-janji yang entah dari siapa?
Aku ingin tidur panjang
bukan karena lelah,
tapi karena ingin berhenti
merasa gagal setiap kali membuka mata.
Tapi aku tahu,
aku masih punya sisa cinta
meski kecil,
untuk diriku sendiri.
Dan mungkin,
itu cukup untuk bertahan
satu hari lagi.
Lalu satu hari lagi.
Hingga dunia tak lagi membisu
atau aku tak lagi butuh jawabannya.
---
Bab 4: Di Ujung Asa
Ada titik
di mana air mata tak lagi jatuh,
bukan karena luka mengering,
tapi karena hati tak tahu lagi
cara untuk merasa.
Di ujung asa
bukanlah tempat yang ramai,
hanya ada suara napas
dan gemetar yang tak disadari.
Kita tak meledak
tidak berteriak atau menghancurkan barang,
kita hanya… perlahan hilang
dalam diri sendiri yang makin sunyi.
Aku pernah sampai ke sana —
ke titik di mana bangun pagi
terasa seperti hukuman
dan malam terasa terlalu panjang
untuk diakhiri dengan damai.
Semua yang dulu berarti
jadi kosong.
Buku-buku tak kubaca,
musik tak lagi menyentuh.
Cahaya pagi tak memberi hangat,
hanya silau yang menusuk mata lelahku.
Aku duduk di sudut kamar
menatap lantai seperti sedang membaca takdir,
dan tak menemukan apa-apa
selain pantulan diriku yang tak lagi kukenal.
"Siapa aku sekarang?"
Pertanyaan itu menggema
di antara jantung yang tetap berdetak
dan jiwa yang seakan diam di tempat.
Dulu aku punya rencana,
tapi kini, bahkan untuk mandi pun
butuh keberanian yang lebih besar
daripada mimpi masa lalu.
Aku hidup dalam gerak otomatis:
senyum jika diajak bicara,
mengangguk walau tak mengerti,
tertawa karena sepi terasa lebih tajam
daripada pura-pura bahagia.
Ada yang bilang,
"kau hanya butuh liburan."
tapi bagaimana bisa kau pergi
dari tempat yang bernama dirimu sendiri?
Aku mencoba memulai ulang,
menulis lagi, bekerja lagi, berharap lagi.
Tapi selalu berhenti di tengah
karena aku tak tahu
untuk siapa semua ini sebenarnya.
Orang-orang berkata,
“lihat ke bawah, banyak yang lebih menderita.”
tapi hatiku berbisik:
“apakah aku harus merendahkan lukaku
agar dianggap pantas merasa hancur?”
Di ujung asa,
kau tak ingin segalanya kembali baik,
kau hanya ingin merasa sedikit ringan
meski hidup masih sama gelapnya.
Aku berbicara dengan Tuhan
dengan suara hampir mati,
bukan untuk meminta
tapi hanya ingin tahu:
“apakah Kau masih di sana?”
Dan walau tak ada jawaban,
aku tetap berdoa
karena satu-satunya hal
yang tersisa saat semua hancur
adalah suara kecil yang masih berharap,
meski tak tahu lagi caranya.
Aku berjalan di antara keramaian
dengan tubuh utuh tapi jiwa retak,
dan aku bertanya dalam hati:
“apakah mereka tahu aku sedang tenggelam
di balik senyum yang mereka lihat?”
Di ujung asa,
tak ada air mata
tak ada jeritan,
hanya tubuh yang tak lagi punya arah
dan hati yang terlalu lelah untuk bertanya.
Aku ingin istirahat,
tapi bukan kematian
yang aku cari.
Aku hanya ingin jeda
dari rasa gagal yang tak pernah pergi.
Aku ingin tenang
tanpa harus membuktikan apa-apa,
ingin dicintai
meski aku tak sedang kuat,
ingin dimengerti
tanpa harus bicara panjang.
Karena di titik ini,
bahkan kata-kata
terasa terlalu berat
untuk diucapkan.
Tapi ada satu hal
yang anehnya masih ada:
detak jantung.
Ia tetap berdetak
seolah tubuhku tahu
bahwa ini belum selesai.
Dan dari sana,
aku mulai merangkak
bukan karena kuat,
tapi karena aku terlalu patah
untuk terus diam.
Satu langkah kecil,
meski pelan dan gemetar.
Satu senyum tipis,
meski palsu dan canggung.
Karena aku tahu,
meski aku di ujung asa,
kadang ujung bukan berarti akhir
tapi tempat diam di mana luka belajar bernapas.
---
Bab 5: Runtuh Tanpa Gempa
Tidak semua kehancuran terdengar.
Ada luka yang tak menjerit,
ada jiwa yang runtuh
tanpa menimbulkan debu,
tanpa membuat siapa pun menoleh.
Aku adalah rumah
yang perlahan retak dari dalam,
bukan karena badai,
tapi karena kelelahan
yang tidak pernah diberi ruang untuk diakui.
Di mata dunia, aku baik-baik saja.
Bekerja, tertawa, membalas pesan.
Tapi di dalam,
lantai hatiku sudah berlubang,
atap harapanku mulai bocor.
Aku tidak menangis,
tidak memohon,
tidak juga menjerit.
Aku hanya diam…
dan di diam itulah aku benar-benar hancur.
Karena tidak semua yang diam itu kuat.
Kadang, diam adalah
cara paling lembut
untuk minta tolong.
Tapi siapa yang bisa mendengar
teriakan tanpa suara?
Aku mulai kehilangan hal-hal kecil:
semangat untuk bangun,
keinginan untuk makan,
cahaya di mata.
Satu demi satu,
seperti kelopak bunga
yang gugur tanpa angin.
Runtuhku tak dramatis.
Tidak ada ledakan.
Tidak ada perpisahan.
Hanya perlahan,
aku menjauh dari segalanya
tanpa ada yang benar-benar sadar.
Mereka berkata:
“kau berubah ya…”
tapi tak pernah bertanya kenapa.
Karena perubahan tidak selalu menarik
kalau tak ada senyum yang menyertainya.
Aku belajar bersikap baik
agar tak menambah beban orang lain,
padahal aku sendirilah
yang sedang tenggelam.
Ada hari-hari
di mana aku hanya duduk dan menatap tembok,
menyusun ulang puing-puing pikiranku
yang berserakan.
Aku menyusun alasan-alasan
untuk tetap bertahan,
tapi semakin hari,
daftar itu semakin pendek.
Aku pernah menulis
“aku lelah”
di sebuah kertas kecil
lalu menyobeknya—
karena bahkan kelelahanku pun
tak pantas dilihat orang lain.
Aku terlalu takut menjadi beban.
Terlalu takut dianggap lemah.
Terlalu takut kehilangan
apa pun yang tersisa.
Jadi aku terus memainkan peranku:
menjawab tawa dengan tawa,
menyembunyikan getir
di balik candaan ringan.
Tapi di malam hari,
aku runtuh dalam diam
seperti tembok tua
yang akhirnya menyerah
pada waktu.
Kehancuran paling menyakitkan
adalah saat tak ada yang tahu
kau sedang hancur.
Saat kau tersenyum dalam foto
yang diambil sesaat sebelum
kau masuk ke kamar
dan memeluk bantal
seperti satu-satunya yang mengerti.
Aku tidak ingin dikasihani.
Aku hanya ingin dipahami,
tapi tak tahu harus mulai dari mana
karena luka ini terlalu dalam
untuk dirangkai dalam kalimat.
Kadang aku berharap ada yang melihat
tanpa harus aku jelaskan,
karena menjelaskan rasa hancur
pada orang yang belum pernah runtuh
adalah kesepian kedua.
Tapi dunia tidak menunggu.
Ia terus bergerak
sementara aku mencoba
menata reruntuhan dengan tangan gemetar.
Dan meski aku tidak tahu
apa yang sedang kubangun lagi,
aku tetap memungut satu-satu
puing yang masih bisa diselamatkan.
Karena meski aku runtuh,
ada bagian kecil dari diriku
yang masih percaya:
mungkin belum selesai.
Mungkin… belum selesai.
---
Epilog: Diam yang Menyala
Aku telah belajar,
bahwa ada luka yang tak bisa dijelaskan,
bahwa ada kehilangan yang tak bisa dipulihkan,
bahwa ada bagian dari diri kita yang
akan selalu hancur,
meski kita berusaha sekuat tenaga
untuk membangunnya kembali.
Di perjalanan ini,
aku tidak menemukan kebahagiaan yang gemilang.
Tidak ada cahaya terang yang datang
untuk menuntun langkah-langkahku yang ragu.
Aku tidak bisa mengatakan aku bahagia,
karena kebahagiaan bukanlah tujuan yang kutuju lagi.
Aku hanya belajar untuk hidup bersama kekosongan.
Menari dengan luka yang tak bisa sembuh,
dan membuat damai dengan diam
yang tidak bisa menjelaskan apapun.
Tapi meski aku tak tahu
apa arti kebahagiaan lagi,
aku tahu satu hal:
aku masih bernapas.
Dan itu adalah sesuatu.
Ada waktu ketika aku merasa hancur
dan bertanya apakah aku masih punya tempat di dunia ini.
Ada waktu ketika aku merasa terlalu kecil
untuk dilihat oleh siapa pun.
Ada waktu ketika aku merasa,
seperti debu yang tak berarti apa-apa.
Namun dalam diam,
dalam kesendirian yang menyesakkan,
aku mulai merasakan satu hal:
mungkin, kita tidak pernah benar-benar hilang.
Kita hanya lupa bahwa kita masih bisa bertahan,
meski tak tahu lagi caranya.
Kehancuran bukanlah akhir.
Ia hanya awal dari sesuatu yang berbeda.
Sesuatu yang tidak terduga.
Sesuatu yang muncul dari kegelapan,
dengan cara yang paling tak terlihat.
Aku kini tahu,
bahwa di tengah luka,
di tengah kehancuran,
ada kekuatan yang tak terlihat
yang perlahan membangun kita kembali,
dengan cara yang baru,
dengan cara yang tidak lagi berharap
untuk menjadi seperti dulu.
Aku bukan lagi diriku yang dulu.
Aku bukan lagi orang yang penuh impian besar
dan harapan yang tak terbendung.
Aku bukan lagi seseorang yang mencari arti di luar sana.
Aku adalah seseorang yang belajar menerima
bahwa hidup,
dalam segala ketidakpastiannya,
adalah tentang menerima setiap langkah
meski kita tidak tahu kemana ia akan membawa.
Dan meski luka-luka ini tak akan pernah hilang,
meski retakan di hatiku tak akan pernah benar-benar sembuh,
aku tahu, aku masih bisa menyala.
Di dalam diamku yang terdalam,
di dalam kehancuran yang tak terucapkan,
ada cahaya kecil yang terus bertahan,
meski hampir tak terlihat,
meski hampir padam.
Tapi itu tetap ada.
Diam yang menyala.
Dan itu cukup untuk bertahan
sehari lagi,
lalu sehari lagi,
dan entah berapa lagi.
Karena aku tahu,
selama ada nyala itu,
selama ada harapan yang samar,
aku masih hidup.
Dan itu adalah awal
dari segala kemungkinan.
--- Created By : Muhammad Maulana Firmansyah ---
Komentar