Jejak yang Tak Sampai: Puisi tentang Impian yang Hancur


‎Judul Buku: Jejak yang Tak Sampai: Puisi tentang Impian yang Hancur
‎Tema:
Kumpulan refleksi dan puisi panjang tentang mimpi yang tidak pernah menjadi nyata. Buku ini menyuarakan suara mereka yang pernah berharap, pernah berjuang, tapi harus belajar menerima kenyataan yang tak seperti harapan. 
---

‎Struktur Buku:
‎Prolog – Suara Sebelum Senyap
‎Bab 1: Benih Mimpi
‎Bab 2: Jalan yang Retak
‎Bab 3: Ketika Dunia Membisu
‎Bab 4: Di Ujung Asa
‎Bab 5: Runtuh Tanpa Gempa
‎Epilog: Diam yang Menyala
‎---
‎Prolog: Suara Sebelum Senyap
‎Kita pernah duduk di bawah langit
‎dengan dada penuh harapan,
‎dan tangan yang menunjuk bintang
‎seolah semuanya bisa digenggam.
‎Kita pernah menulis nama sendiri
‎di halaman kosong bernama masa depan
‎tanpa tahu, bahwa kertas itu
‎bisa terbakar oleh kenyataan.
‎Impian tidak selalu meledak seperti petasan
‎kadang ia hanya hilang, pelan-pelan
‎seperti daun yang gugur tanpa suara
‎dari pohon yang tak lagi percaya musim.
‎Buku ini kutulis untuk mereka
‎yang pernah ingin menjadi cahaya
‎tapi kini hanya bayangan
‎di tengah gelap yang tak selesai.
‎---
‎Bab 1: Benih Mimpi
‎Dulu, aku percaya bahwa langit bisa digapai
‎bahwa yang patah bisa disambung
‎dan yang jauh bisa didekati
‎dengan cukup tekad dan waktu.
‎Aku menyimpan mimpiku di bawah bantal
‎dan membawanya ke dalam tidur setiap malam
‎seperti anak kecil memeluk boneka lusuh
‎percaya ia bisa menjaganya dari dunia.
‎Mimpiku bukan istana
‎bukan nama di panggung atau suara tepuk tangan
‎mimpiku sederhana:
‎menjadi versi terbaik dari diriku sendiri.
‎Aku menanamnya di ladang harapan
‎menyiram dengan kerja keras
‎menyanyikannya lagu-lagu doa
‎dan berharap semesta ikut menjaga.
‎Tapi tidak semua benih tumbuh
‎kadang tanahnya terlalu keras
‎kadang langitnya terlalu kering
‎dan kadang, tangan kita sendiri
‎yang tak sadar merusaknya.
‎Aku tumbuh dengan janji-janji
‎yang tak pernah benar-benar dijanjikan
‎dengan kata-kata “kamu pasti bisa”
‎yang tak tahu betapa beratnya “mencoba”.
‎Dunia berkata, "bermimpilah setinggi langit"
‎tapi tak bilang bahwa jatuhnya bisa setajam batu
‎dan sakitnya tidak selalu tampak
‎tapi terasa di setiap tarikan napas.
‎Di sekolah, aku menuliskan cita-cita
‎dengan huruf besar dan semangat
‎tapi tak ada yang bilang bahwa kehidupan
‎kadang tak membaca catatan kita.
‎Aku belajar keras
‎bertahan dalam gelap
‎menyusun harapan seperti mozaik
‎sambil menutup telinga dari tawa-tawa sinis.
‎Namun, di satu titik
‎aku mulai melihat retak pada kaca harapanku
‎satu per satu, mimpi itu pecah
‎dan tak semua bisa kucoba sambung.
‎Tapi saat itu aku belum menyerah
‎aku percaya ini hanya ujian
‎seperti badai yang hanya lewat
‎seperti luka yang akan sembuh.
‎Aku berkata pada diriku sendiri,
‎"kau hanya perlu sedikit lagi… hanya sedikit lagi…”
‎tapi tak kusadari, aku telah mengulang kalimat itu
‎selama bertahun-tahun, dan belum juga sampai.
‎Mimpi bukan sekadar peta
‎ia adalah pelabuhan yang bisa hilang
‎dan kapal kita, tak selalu sampai
‎bahkan jika layar kita penuh doa.
‎Kini, aku duduk di antara serpihan
‎dan bertanya:
‎apakah aku salah bermimpi?
‎atau dunia yang terlalu sempit untuk harapanku?
‎Tapi jawabannya tak pernah jelas
‎karena dunia tak memberi alasan
‎hanya kenyataan
‎yang harus kita telan, meski pahitnya lama hilang.
‎Namun…
‎aku tak menyesal pernah bermimpi
‎karena di dalam mimpi itu
‎aku sempat merasa hidup.
‎---
‎Bab 2: Jalan yang Retak
‎Aku mulai berjalan
‎dengan langkah ragu namun penuh harap,
‎menuju dunia yang katanya bisa ditaklukkan
‎asal tekadmu tak padam.
‎Tapi tak ada yang berkata bahwa jalan ini
‎bisa retak tanpa suara,
‎bahwa aspal yang kau pijak
‎bisa berubah menjadi jurang yang diam-diam menganga.
‎Dulu aku percaya, semua hal indah
‎hanya butuh usaha dan waktu,
‎tapi waktu mulai mencuri sebagian semangatku
‎dan usaha tak selalu menghasilkan apa-apa.
‎Aku pernah menulis lamaran kerja
‎dengan tangan gemetar tapi hati penuh nyala,
‎dan menerima balasan yang tak datang
‎kecuali hening yang menusuk dada.
‎Aku melihat teman-teman naik tangga
‎sementara aku terpeleset di anak pertama,
‎dan mereka berkata,
‎“tetap semangat ya,” sambil menoleh sekilas.
‎Aku tersenyum sambil menahan luka
‎karena dalam hati, aku mulai bertanya:
‎apakah mungkin, ini bukan jalanku?
‎atau memang tidak ada jalan untukku?
‎Aku mencari pintu di dinding yang terus meninggi
‎mengetuk peluang yang tak pernah terbuka,
‎hingga akhirnya, aku duduk di lantai
‎dengan dada kosong dan mata penuh tanya.
‎Aku tahu, tak semua bisa berhasil
‎tapi aku tidak pernah siap
‎menjadi salah satu dari mereka yang harus berhenti
‎bukan karena tak mau,
‎tapi karena tak tahu harus bagaimana lagi.
‎Malam-malam mulai terasa lebih panjang
‎bukan karena waktu,
‎tapi karena pikiran yang tak mau berhenti
‎memutar ulang semua kegagalan.
‎“Kenapa aku?”
‎Pertanyaan itu berulang dalam diam
‎seperti gema di gua yang sepi
‎tak ada jawaban, hanya suara sendiri yang kembali.
‎Orang-orang berkata:
‎"bersyukurlah, banyak yang lebih buruk darimu,"
‎tapi hati tak pernah pandai berhitung
‎karena luka bukan soal perbandingan.
‎Aku pernah percaya bahwa aku akan sampai
‎tapi nyatanya, peta yang kugenggam
‎ternyata menuju tempat yang tidak ada.
‎Mimpiku adalah istana
‎yang perlahan jadi reruntuhan
‎batu demi batu gugur
‎dan tak sempat kuselamatkan apa pun.
‎Aku lelah menulis surat pada langit
‎lelah berdoa sambil mengukur sabar
‎karena tidak semua yang kita doakan
‎mau datang meski kita memanggilnya setiap hari.
‎Hari demi hari berlalu
‎dan aku mulai hidup dengan satu kaki
‎satu di kenyataan, satu di harapan
‎tapi semakin lama, yang berdiri di harapan mulai lumpuh.
‎Aku tetap mencoba, tentu saja
‎karena aku tak ingin menyerah begitu saja
‎tapi aku mulai sadar,
‎berjuang tanpa arah bisa lebih melelahkan
‎daripada berhenti dan meratap.
‎Ada saatnya aku memeluk diriku sendiri
‎dan berkata:
‎“mungkin, ini bukan untukmu… dan itu tidak apa-apa.”
‎meski aku tahu, itu tetap menyakitkan.
‎Kadang aku tertawa di depan orang lain
‎karena air mata bukan bahasa yang bisa dipahami semua orang.
‎Dan kadang, aku tak berkata apa pun
‎karena tidak semua luka bisa dijelaskan dengan kata.
‎Mereka melihatku
‎sebagai seseorang yang ‘masih kuat’
‎padahal aku hanya belajar bagaimana menyembunyikan retak
‎agar tak terlihat pecah.
‎Aku mulai berjalan lebih lambat
‎bukan karena malas,
‎tapi karena aku takut jatuh lagi
‎dan tak sanggup bangun.
‎Jalan yang kupikir lurus
‎ternyata bercabang ke arah yang tak kumengerti
‎dan tidak semua cabang membawa kita ke tempat yang lebih baik.
‎Aku bertemu dengan keheningan
‎dan ia jadi sahabat terbaikku
‎karena ia tak pernah menilai
‎dan hanya menemani.
‎Tak mudah menerima bahwa tidak semua impian
‎akan terwujud.
‎Tapi lebih sulit lagi
‎menerima bahwa kita harus melepasnya.
‎Dan saat aku duduk di tengah jalan yang retak
‎dikelilingi bayangan mereka yang berhasil,
‎aku tahu — aku harus memilih:
‎terus memaksa, atau pelan-pelan mengikhlaskan.
‎Tapi ikhlas bukan berarti tidak sakit
‎itu hanya cara lain untuk bertahan
‎dengan dada yang tetap berdetak
‎meski penuh luka yang tak bisa dilihat.
‎---
‎Bab 3: Ketika Dunia Membisu
‎Aku pernah mencoba berteriak
‎di tengah riuhnya dunia,
‎tapi suara hatiku
‎selalu kalah oleh bising yang tidak peduli.
‎Aku pernah mengulurkan tangan
‎bukan untuk meminta,
‎hanya agar seseorang tahu
‎bahwa aku masih di sini… masih mencoba.
‎Tapi dunia membisu.
‎Ia tak menjawab.
‎Ia hanya berjalan terus,
‎melewati aku yang mulai diam.
‎Mereka bilang, “semangat ya”
‎dengan suara datar,
‎lalu berlalu
‎seperti tak ada yang pernah jatuh di hadapan mereka.
‎Aku mulai terbiasa dengan kesepian
‎yang tak berisik,
‎tapi menyiksa
‎seperti air yang perlahan memenuhi paru-paru.
‎Setiap pagi terasa sama:
‎bangun, berharap, gagal, diam.
‎Tak ada pelukan,
‎hanya tatapan kaca yang memantulkan sisa-sisa percaya diri.
‎Aku mulai bicara pada diri sendiri
‎bukan karena gila,
‎tapi karena hanya aku
‎yang masih mau mendengar ceritaku.
‎Teman-temanku mulai menjauh
‎bukan karena mereka jahat,
‎mungkin karena aku tak lagi menyenangkan
‎untuk diajak bicara.
‎Aku mengerti,
‎tak semua orang bisa bertahan
‎menemani seseorang
‎yang kehilangan arah dan suara.
‎Jadi aku diam.
‎Dan dunia pun diam.
‎Kami saling membisu
‎dalam jarak yang makin jauh.
‎Kadang aku membuka media sosial
‎melihat hidup orang lain yang penuh warna
‎dan bertanya dalam hati,
‎“apakah aku sedang hidup atau hanya bertahan?”
‎Foto-foto bahagia
‎adalah gema yang menyakitkan
‎bagi hati yang sedang tenggelam
‎dalam gelap yang tak bisa dibagikan.
‎Aku pernah mencoba tersenyum
‎untuk tidak terlihat lemah,
‎tapi hati tak bisa dibohongi
‎meski wajah bisa dilatih.
‎Dunia mengajarkanku
‎bahwa siapa yang bersuara paling keras
‎yang akan didengar.
‎Tapi aku tak bisa teriak — suaraku tenggelam oleh kecewa.
‎Aku pernah mengirim pesan panjang
‎kepada seseorang yang kusebut sahabat
‎hanya untuk mendapat balasan,
‎“maaf ya, aku sibuk.”
‎Sibuk…
‎kata yang terdengar seperti penolakan
‎yang dibungkus sopan.
‎Dan sejak itu, aku berhenti menulis panjang.
‎Aku menjadi puisi
‎yang tak pernah selesai
‎karena tak ada pembaca
‎yang sabar untuk sampai ke bait terakhir.
‎Ketika dunia membisu,
‎aku belajar mendengar suara hatiku sendiri
‎yang ternyata lebih jujur
‎daripada kata-kata yang datang dari luar.
‎Tapi kejujuran kadang menakutkan.
‎Ia berkata:
‎“kau lelah.”
‎“kau hampa.”
‎“kau sedang berjalan di jalan yang tak mengarah ke mana-mana.”
‎Dan aku hanya bisa menjawab
‎dengan diam yang menyesakkan.
‎Aku tahu, aku masih hidup
‎karena aku masih merasa sakit.
‎Dan sakit adalah bukti
‎bahwa aku belum sepenuhnya mati.
‎Tapi apa arti hidup
‎jika hari demi hari
‎hanya tentang bertahan,
‎bukan lagi tentang harapan?
‎Aku mulai memeluk malam
‎sebagai satu-satunya tempat
‎di mana aku tak harus tersenyum
‎atau menjelaskan apa pun.
‎Aku menatap atap kamar
‎dan berkata pada Tuhan
‎dengan suara nyaris hilang,
‎“kalau ini bukan takdirku… kenapa dulu aku diberi mimpi?”
‎Tak ada suara yang menjawab.
‎Hanya angin
‎yang lewat dari jendela kecil
‎membawa dingin yang tidak memberiku pengertian.
‎Tapi aku tetap bertanya.
‎Karena kadang,
‎bertanya adalah satu-satunya cara
‎untuk tetap waras.
‎Di luar sana, dunia terus bergerak
‎sementara aku
‎masih di tempat yang sama
‎dengan hati yang tak tahu harus ke mana.
‎Mereka bilang:
‎"waktumu akan datang."
‎tapi kapan?
‎karena aku sudah terlalu lama menunggu di halte sunyi ini.
‎Dan jika waktuku tak pernah datang,
‎apakah aku harus menyalahkan diriku
‎karena terlalu percaya
‎pada janji-janji yang entah dari siapa?
‎Aku ingin tidur panjang
‎bukan karena lelah,
‎tapi karena ingin berhenti
‎merasa gagal setiap kali membuka mata.
‎Tapi aku tahu,
‎aku masih punya sisa cinta
‎meski kecil,
‎untuk diriku sendiri.
‎Dan mungkin,
‎itu cukup untuk bertahan
‎satu hari lagi.
‎Lalu satu hari lagi.
‎Hingga dunia tak lagi membisu
‎atau aku tak lagi butuh jawabannya.
‎---
‎Bab 4: Di Ujung Asa
‎Ada titik
‎di mana air mata tak lagi jatuh,
‎bukan karena luka mengering,
‎tapi karena hati tak tahu lagi
‎cara untuk merasa.
‎Di ujung asa
‎bukanlah tempat yang ramai,
‎hanya ada suara napas
‎dan gemetar yang tak disadari.
‎Kita tak meledak
‎tidak berteriak atau menghancurkan barang,
‎kita hanya… perlahan hilang
‎dalam diri sendiri yang makin sunyi.
‎Aku pernah sampai ke sana —
‎ke titik di mana bangun pagi
‎terasa seperti hukuman
‎dan malam terasa terlalu panjang
‎untuk diakhiri dengan damai.
‎Semua yang dulu berarti
‎jadi kosong.
‎Buku-buku tak kubaca,
‎musik tak lagi menyentuh.
‎Cahaya pagi tak memberi hangat,
‎hanya silau yang menusuk mata lelahku.
‎Aku duduk di sudut kamar
‎menatap lantai seperti sedang membaca takdir,
‎dan tak menemukan apa-apa
‎selain pantulan diriku yang tak lagi kukenal.
‎"Siapa aku sekarang?"
‎Pertanyaan itu menggema
‎di antara jantung yang tetap berdetak
‎dan jiwa yang seakan diam di tempat.
‎Dulu aku punya rencana,
‎tapi kini, bahkan untuk mandi pun
‎butuh keberanian yang lebih besar
‎daripada mimpi masa lalu.
‎Aku hidup dalam gerak otomatis:
‎senyum jika diajak bicara,
‎mengangguk walau tak mengerti,
‎tertawa karena sepi terasa lebih tajam
‎daripada pura-pura bahagia.
‎Ada yang bilang,
"kau hanya butuh liburan."
‎tapi bagaimana bisa kau pergi
‎dari tempat yang bernama dirimu sendiri?
‎Aku mencoba memulai ulang,
‎menulis lagi, bekerja lagi, berharap lagi.
‎Tapi selalu berhenti di tengah
‎karena aku tak tahu
‎untuk siapa semua ini sebenarnya.
‎Orang-orang berkata,
‎“lihat ke bawah, banyak yang lebih menderita.”
‎tapi hatiku berbisik:
‎“apakah aku harus merendahkan lukaku
‎agar dianggap pantas merasa hancur?”
‎Di ujung asa,
‎kau tak ingin segalanya kembali baik,
‎kau hanya ingin merasa sedikit ringan
‎meski hidup masih sama gelapnya.
‎Aku berbicara dengan Tuhan
‎dengan suara hampir mati,
‎bukan untuk meminta
‎tapi hanya ingin tahu:
‎“apakah Kau masih di sana?”
‎Dan walau tak ada jawaban,
‎aku tetap berdoa
‎karena satu-satunya hal
‎yang tersisa saat semua hancur
‎adalah suara kecil yang masih berharap,
‎meski tak tahu lagi caranya.
‎Aku berjalan di antara keramaian
‎dengan tubuh utuh tapi jiwa retak,
‎dan aku bertanya dalam hati:
‎“apakah mereka tahu aku sedang tenggelam
‎di balik senyum yang mereka lihat?”
‎Di ujung asa,
‎tak ada air mata
‎tak ada jeritan,
‎hanya tubuh yang tak lagi punya arah
‎dan hati yang terlalu lelah untuk bertanya.
‎Aku ingin istirahat,
‎tapi bukan kematian
‎yang aku cari.
‎Aku hanya ingin jeda
‎dari rasa gagal yang tak pernah pergi.
‎Aku ingin tenang
‎tanpa harus membuktikan apa-apa,
‎ingin dicintai
‎meski aku tak sedang kuat,
‎ingin dimengerti
‎tanpa harus bicara panjang.
‎Karena di titik ini,
‎bahkan kata-kata
‎terasa terlalu berat
‎untuk diucapkan.
‎Tapi ada satu hal
‎yang anehnya masih ada:
‎detak jantung.
‎Ia tetap berdetak
‎seolah tubuhku tahu
‎bahwa ini belum selesai.
‎Dan dari sana,
‎aku mulai merangkak
‎bukan karena kuat,
‎tapi karena aku terlalu patah
‎untuk terus diam.
‎Satu langkah kecil,
‎meski pelan dan gemetar.
‎Satu senyum tipis,
‎meski palsu dan canggung.
‎Karena aku tahu,
‎meski aku di ujung asa,
‎kadang ujung bukan berarti akhir
‎tapi tempat diam di mana luka belajar bernapas.
‎---
‎Bab 5: Runtuh Tanpa Gempa
‎Tidak semua kehancuran terdengar.
‎Ada luka yang tak menjerit,
‎ada jiwa yang runtuh
‎tanpa menimbulkan debu,
‎tanpa membuat siapa pun menoleh.
‎Aku adalah rumah
‎yang perlahan retak dari dalam,
‎bukan karena badai,
‎tapi karena kelelahan
‎yang tidak pernah diberi ruang untuk diakui.
‎Di mata dunia, aku baik-baik saja.
‎Bekerja, tertawa, membalas pesan.
‎Tapi di dalam,
‎lantai hatiku sudah berlubang,
‎atap harapanku mulai bocor.
‎Aku tidak menangis,
‎tidak memohon,
‎tidak juga menjerit.
‎Aku hanya diam…
‎dan di diam itulah aku benar-benar hancur.
‎Karena tidak semua yang diam itu kuat.
‎Kadang, diam adalah
‎cara paling lembut
‎untuk minta tolong.
‎Tapi siapa yang bisa mendengar
‎teriakan tanpa suara?
‎Aku mulai kehilangan hal-hal kecil:
‎semangat untuk bangun,
‎keinginan untuk makan,
‎cahaya di mata.
‎Satu demi satu,
‎seperti kelopak bunga
‎yang gugur tanpa angin.
‎Runtuhku tak dramatis.
‎Tidak ada ledakan.
‎Tidak ada perpisahan.
‎Hanya perlahan,
‎aku menjauh dari segalanya
‎tanpa ada yang benar-benar sadar.
‎Mereka berkata:
‎“kau berubah ya…”
‎tapi tak pernah bertanya kenapa.
‎Karena perubahan tidak selalu menarik
‎kalau tak ada senyum yang menyertainya.
‎Aku belajar bersikap baik
‎agar tak menambah beban orang lain,
‎padahal aku sendirilah
‎yang sedang tenggelam.
‎Ada hari-hari
‎di mana aku hanya duduk dan menatap tembok,
‎menyusun ulang puing-puing pikiranku
‎yang berserakan.
‎Aku menyusun alasan-alasan
‎untuk tetap bertahan,
‎tapi semakin hari,
‎daftar itu semakin pendek.
‎Aku pernah menulis
‎“aku lelah”
‎di sebuah kertas kecil
‎lalu menyobeknya—
‎karena bahkan kelelahanku pun
‎tak pantas dilihat orang lain.
‎Aku terlalu takut menjadi beban.
‎Terlalu takut dianggap lemah.
‎Terlalu takut kehilangan
‎apa pun yang tersisa.
‎Jadi aku terus memainkan peranku:
‎menjawab tawa dengan tawa,
‎menyembunyikan getir
‎di balik candaan ringan.
‎Tapi di malam hari,
‎aku runtuh dalam diam
‎seperti tembok tua
‎yang akhirnya menyerah
‎pada waktu.
‎Kehancuran paling menyakitkan
‎adalah saat tak ada yang tahu
‎kau sedang hancur.
‎Saat kau tersenyum dalam foto
‎yang diambil sesaat sebelum
‎kau masuk ke kamar
‎dan memeluk bantal
‎seperti satu-satunya yang mengerti.
‎Aku tidak ingin dikasihani.
‎Aku hanya ingin dipahami,
‎tapi tak tahu harus mulai dari mana
‎karena luka ini terlalu dalam
‎untuk dirangkai dalam kalimat.
‎Kadang aku berharap ada yang melihat
‎tanpa harus aku jelaskan,
‎karena menjelaskan rasa hancur
‎pada orang yang belum pernah runtuh
‎adalah kesepian kedua.
‎Tapi dunia tidak menunggu.
‎Ia terus bergerak
‎sementara aku mencoba
‎menata reruntuhan dengan tangan gemetar.
‎Dan meski aku tidak tahu
‎apa yang sedang kubangun lagi,
‎aku tetap memungut satu-satu
‎puing yang masih bisa diselamatkan.
‎Karena meski aku runtuh,
‎ada bagian kecil dari diriku
‎yang masih percaya:
‎mungkin belum selesai.
‎Mungkin… belum selesai.
‎---
‎Epilog: Diam yang Menyala
‎Aku telah belajar,
‎bahwa ada luka yang tak bisa dijelaskan,
‎bahwa ada kehilangan yang tak bisa dipulihkan,
‎bahwa ada bagian dari diri kita yang
‎akan selalu hancur,
‎meski kita berusaha sekuat tenaga
‎untuk membangunnya kembali.
‎Di perjalanan ini,
‎aku tidak menemukan kebahagiaan yang gemilang.
‎Tidak ada cahaya terang yang datang
‎untuk menuntun langkah-langkahku yang ragu.
‎Aku tidak bisa mengatakan aku bahagia,
‎karena kebahagiaan bukanlah tujuan yang kutuju lagi.
‎Aku hanya belajar untuk hidup bersama kekosongan.
‎Menari dengan luka yang tak bisa sembuh,
‎dan membuat damai dengan diam
‎yang tidak bisa menjelaskan apapun.
‎Tapi meski aku tak tahu
‎apa arti kebahagiaan lagi,
‎aku tahu satu hal:
‎aku masih bernapas.
‎Dan itu adalah sesuatu.
‎Ada waktu ketika aku merasa hancur
‎dan bertanya apakah aku masih punya tempat di dunia ini.
‎Ada waktu ketika aku merasa terlalu kecil
‎untuk dilihat oleh siapa pun.
‎Ada waktu ketika aku merasa,
‎seperti debu yang tak berarti apa-apa.
‎Namun dalam diam,
‎dalam kesendirian yang menyesakkan,
‎aku mulai merasakan satu hal:
‎mungkin, kita tidak pernah benar-benar hilang.
‎Kita hanya lupa bahwa kita masih bisa bertahan,
‎meski tak tahu lagi caranya.
‎Kehancuran bukanlah akhir.
‎Ia hanya awal dari sesuatu yang berbeda.
‎Sesuatu yang tidak terduga.
‎Sesuatu yang muncul dari kegelapan,
‎dengan cara yang paling tak terlihat.
‎Aku kini tahu,
‎bahwa di tengah luka,
‎di tengah kehancuran,
‎ada kekuatan yang tak terlihat
‎yang perlahan membangun kita kembali,
‎dengan cara yang baru,
‎dengan cara yang tidak lagi berharap
‎untuk menjadi seperti dulu.
‎Aku bukan lagi diriku yang dulu.
‎Aku bukan lagi orang yang penuh impian besar
‎dan harapan yang tak terbendung.
‎Aku bukan lagi seseorang yang mencari arti di luar sana.
‎Aku adalah seseorang yang belajar menerima
‎bahwa hidup,
‎dalam segala ketidakpastiannya,
‎adalah tentang menerima setiap langkah
‎meski kita tidak tahu kemana ia akan membawa.
‎Dan meski luka-luka ini tak akan pernah hilang,
‎meski retakan di hatiku tak akan pernah benar-benar sembuh,
‎aku tahu, aku masih bisa menyala.
‎Di dalam diamku yang terdalam,
‎di dalam kehancuran yang tak terucapkan,
‎ada cahaya kecil yang terus bertahan,
‎meski hampir tak terlihat,
‎meski hampir padam.
‎Tapi itu tetap ada.
‎Diam yang menyala.
‎Dan itu cukup untuk bertahan
‎sehari lagi,
‎lalu sehari lagi,
‎dan entah berapa lagi.
‎Karena aku tahu,
‎selama ada nyala itu,
‎selama ada harapan yang samar,
‎aku masih hidup.
‎Dan itu adalah awal
‎dari segala kemungkinan.


--- Created By : Muhammad Maulana Firmansyah ---

Komentar

Postingan Populer